HNR LAW OFFICE - THE BEST FAMILY LAWYER

HNR LAW OFFICE - THE BEST FAMILY LAWYER

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

Hak asuh anak seringkali menjadi permasalahan pasca perceraian. Bahkan tak jarang antar mantan suami dan mantan istri saling berebut mendapat hak asuh anak tersebut.

Pengajar hukum Islam di Universitas Indonesia, Farida Prihatini menilai bahwa sebaiknya hak asuh anak diberikan kepada ibunya bila anak belum dewasa dan  belum baligh. Karena ibu secara fitrahnya lebih bisa mengatur anak dan lebih telaten mengasuh anak.

Namun demikian, menurut Farida hak asuh anak tersebut juga tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah kalau ibu tersebut memilki kelakuan yang tidak baik, serta diangap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu terutama dalam mendidik anaknya. Yang diutamakan itu adalah untuk kebaikan si anak, cetus Farida.

Komisioner Komnas Perlindungan Anak, M. Joni, sependapat dengan Farida mengenai keutamaan kepentingan terbaik anak. Namun Joni kurang sepakat kalau pengasuhan anak disebut sebagai fitrah ibu. Yang bersifat fitrah dari seorang ibu adalah melahirkan dan menyusui. Bahkan Joni menegaskan sudah ada preseden putusan pengadilan yang memberikan hak asuh anak kepada ayah.

Cakap atau tidaknya ayah atau ibu untuk mendapatkan hak asuh anak, diakui oleh Farida sering menjadi perdebatan di pengadilan karena belum ada standar yang pasti mengenai kecakapan tersebut. Standarnya menurut saya yang bersangkutan akhlaknya baik, punya pengetahuan yang baik untuk mendidik anak. Farida juga menyatakan bahwa sebaiknya orang tua yang mendapat hak asuh anak adalah yang memiliki agama yang sama dengan anak.

Mengenai batas usia baligh bagi anak, Farida mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa ditentukan secara tegas. Kalau laki-laki sudah mendapat mimpi basah, kalau perempuan sudah mendapat haidh, serta sudah rasyid, bisa membedakan mana yang baik mana yang salah, jelas Ketua Program Kenotariatan Fakultas Hukum UI tersebut.

Farida menyesalkan bahwa usia kedewasaan anak di berbagai undang-undang berbeda antara satu dengan yang lain, seperti di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perlindungan anak, UU Perkawinan dan sebagainya. Menurut Farida, dalam penentuan kedewasaan anak, Pengadilan Agama biasanya menggunakan UU Perkawinan.

 Menurut Farida, dalam penentuan siapa yang berhak mengasuh anak juga harus mempertimbangkan faktor pekerjaan ayah atau ibu si anak tersebut. Namun demikian, Farida berpendapat bahwa ibu tetap berhak mendapat hak asuh anak meski ia kurang mampu karena sebenarnya yang wajib menafkahi anak adalah sang ayah. Walaupun cerai, bukan berati ayah berhenti untuk memberi nafkah anaknya, kata Farida.

Namun demikian, lanjut Farida, kewajiban sang ayah memberi nafkah tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan sang ayah, dan bila ayah tidak mampu maka ibu tetap harus membiayai anaknya.

Sementara itu, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia Prof. Umar Shihab berpendapat bahwa hak asuh anak yang masih menyusui di bawah dua tahun sebaiknya diberikan kepada ibu. Sedangkan jika lebih dari dua tahun, maka hak asuh diputuskan oleh pihak pengadilan.

Umar menambahkan, hak asuh sebaiknya diberikan kepada pihak yang memiliki waktu luang dalam mengasuh anak serta finansial lebih baik untuk pemenuhan kebutuhan hidup si anak. Namun, jika hal itu tidak disepakati maka proses pengadilan sebagai solusinya, ujar Guru Besar Universitas Islam Negeri Salahudin Makasar tersebut.

Umar mengingatkan agar hak-hak anak jangan sampai terabaikan ketika terjadi perceraian. Al Quran, menurut Umar, telah mengingatkan agar kita tidak menyia-nyiakan anak.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam hal terjadi perceraian maka hak asuh anak yang belum mumayiz (mempunyai kemampuan membedakan mana yang baik dan yang buruk) atau belum berumur dua belas tahun ada pada ibunya, sedangkan pada anak yang sudah mumayiz diberikan kebebsan pada si anak untuk memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya. KHI juga dengan tegas menyatakan bahwa biaya pemeliharaan anak pasca perceraian ditanggung oleh ayah.

_______________